Benarkah FIFA Menerapkan Standart Ganda Soal Israel..?

- Kamis, 30 Maret 2023 | 14:07 WIB
Logo FIFA terlihat di markas besarnya di Zurich, Swiss, dalam foto arsip 3 Oktober 2013. FIFA membatalkan Piala Dunia U-20 2021 di Indonesia*
Logo FIFA terlihat di markas besarnya di Zurich, Swiss, dalam foto arsip 3 Oktober 2013. FIFA membatalkan Piala Dunia U-20 2021 di Indonesia*

KETIKNEWS.ID,-- Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) pada hari Rabu kemarin, 29 Maret 2023, secara resmi telah mengumumkan pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 2023. Dalam keterangan tertulisnya, FIFA menyebutkan pembatalan ini dikarenakan “situasi terkini” di dalam negeri Indonesia. “Situasi terkini” yang dimaksud FIFA tak jelas dan terkesan menutupi apa yang dimaksudnya. Namun salah satu situasi terkini bisa saja soal ramainya penolakan berbagai kalangan atas rencana kedatangan Timnas Israel U20 ke Indonesia.

Sebagai organisasi sepakbola sejagat, FIFA mestinya bisa mengakomodasi kepentingan semua negara, termasuk memahami bahwa bagi sejumlah negara, terutama sebagian negara muslim, Israel bukan hanya sekadar isu olahraga, melainkan merupakan isu politik dan kemanusiaan yang serius. Sehingga, tak seharusnya FIFA menempatkan atau memaksakan aturannya pada posisi lebih tinggi daripada aturan hukum, bahkan konstitusi sebuah negara. Membela kepentingan Israel, sembari mengabaikan aspirasi negara-negara lain yang punya garis politik tegas terhadap Israel, membuat FIFA punya standar ganda dalam politik sepakbola.

Sayangnya, selama ini FIFA memang telah menerapkan standar ganda dalam politik sepakbola. Setidaknya ada dua alasan kenapa kita menganggap FIFA demikian.

Pertama, FIFA tak konsisten dengan larangan politisasi sepakbola. Ketika FIFA dan UEFA menjatuhkan sanksi pelarangan terhadap tim nasional serta klub Rusia untuk berpartisipasi dalam semua kompetisi di bawah FIFA dan UEFA, serta melarang klub dan timnas Belarusia untuk melakukan pertandingan di kandang sendiri sebagai sanksi atas dukungan mereka terhadap Rusia dalam perang Ukraina, apakah itu bukan pelarangan yang bersifat politik?

Ketika FIFA berteriak nyaring atas serangan Rusia terhadap Ukraina, namun menutup mata terhadap penjajahan serta politik apartheid yang dilakukan oleh lsrael terhadap bangsa Palestina, apakah pilihan sikap itu tidak bersifat politis?

Jadi, sejak kapan sepakbola bisa dipisahkan dari politik? FIFA jelas berpolitik dan politik tebang pilih FIFA sangat nyata.

Suka atau tidak suka, sepakbola sebenarnya tak pernah bisa dipisahkan dari soal politik. Olahraga ini, yang bisa menghimpun jutaan massa dan milyaran penonton, memang bisa jadi panggung politik strategis. Sehingga, aturan yang menuntut agar kita tidak mencampuradukkan urusan olahraga dengan politik adalah aturan yang tidak masuk akal. Terutama, karena FIFA sendiri terbukti tak mentaatinya.

Kedua, FIFA menuntut semua negara agar berlaku fair terhadap atlet Israel, padahal Israel sendiri tak pernah berlaku fair terhadap atlet dan dunia olahraga Palestina. Meski tidak banyak diekspose oleh media ‘mainstream’ internasional, bukan rahasia lagi militer Israel sejak lama telah menjadikan bidang olahraga serta para atlet Palestina sebagai target serangan mereka.

Pada November 2006, misalnya, militer Israel pernah mencegah semua atlet sepakbola Palestina untuk berpartisipasi dalam pertandingan final babak penyisihan grup kualifikasi AFC (Asian Football Confederation). Aksi yang tak mudah untuk dilupakan adalah ketika Israel tidak mengizinkan para pemain dan ofisial tim Palestina berpartisipasi dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2010 melawan Singapura.

Aksi jahat Israel tahun 2007 itu telah mengganjal kesempatan timnas Palestina di ajang Piala Dunia. Celakanya, alih-alih membela atlet Palestina dan mengutuk Israel, FIFA malah memutuskan untuk memberikan kemenangan otomatis kepada Singapura 3-0. Padahal, kita tahu, dalam pertemuan terakhir kualifikasi Piala Dunia 2022 lalu, timnas Palestina bisa menekuk Singapura dengan keunggulan telak 4-0.

Stadion Palestina sering dibom selama perang brutal Israel di Gaza. Itu sebabnya, selama bertahun-tahun timnas Palestina hanya bisa menggelar pertandingan kandang di Yordania atau Qatar. Dan kamp latihan merekapun ada jauh di Ismailia, Mesir.

Serangan mematikan tentara Israel bukan hanya mengarah pada fasilitas olahraga, tapi juga pada atlet-atlet Palestina. Pada Januari 2009, misalnya, tiga pesepakbola Palestina, Ayman Alkurd, Shadi Sbakhe, serta Wajeh Moshtaha, tewas oleh serangan Israel di Jalur Gaza. Dua bulan kemudian, Saji Darwish, pemain muda berusia 18 tahun, dibunuh oleh penembak jitu Israel di dekat Ramallah.

Pada bulan Juli, masih di tahun 2009, Mahmoud Sarsak, pemain timnas Palestina, telah ditangkap dan disiksa oleh militer Israel selama tiga tahun. Meskipun pada akhirnya dia dibebaskan, namun masalah kesehatan permanen akibat penyiksaan yang dideritanya selama dalam tahanan Israel telah mematikan karir olahraganya.

Penangkapan, penyiksaan, serta pembunuhan terhadap pemain bola Palestina telah menjadi berita rutin di Palestina. Militer Israel secara sengaja menembak kaki para pemain muda Palestina dalam berbagai kesempatan, terutama ketika mereka sedang melintasi pos pemeriksaan militer.

Pada 2019, militer Israel menyerang Stadion Al Khader di Betlehem dengan gas air mata, yang mirip dengan Tragedi Kanjuruhan, Malang, tahun lalu. Dan terbaru, pada 22 Desember 2022 lalu, tentara Israel telah menembak mati Ahmad Atef Daraghma, pemain bola dari klub Thaqafi, serta melukai 24 orang lainnya, dalam sebuah serangan dan aksi brutal di kota Nablus, Tepi Barat.

Halaman:

Editor: Gideon Sinaga

Sumber: Fadli Zon

Tags

Terkini

X