KETIKNEWS.ID,-- Mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah mengatakan bahwa politik dalam sistem demokrasi merupakan permainan yang sangat mahal, karena mengakomodasi keterlibatan publik secara luas dan masif.
Jadi politik itu, tidak bisa diletakan hanya sebagai permainan segelintir elit saja, tapi politik adalah permainan bagi semua orang.
Sehingga, ongkos yang dibutuhkan pun menjadi sangat besar. Ia mengambi contoh kasus seorang calon Legislatif (Caleg) agar bisa duduk di Senayan bisa mencapai miliaran rupiah, dimana kisarannya mulai dari Rp5 Miliar sampai Rp15 Miliar untuk kursi DPR RI.
Menurut dia, biaya yang dikeluarkan sebesar itu sudah lazim dalam alam demokrasi saat ini, karena dana tersebut digunakan untuk membiayai logistik seperti pemberian bantuan dan sebagainya.
Baca Juga: Jelang Pemilu 2024, KPU Diminta Gandeng Disdukcapil Sisir Data Pemilih Ganda Hingga Siluman
"Makanya, tak heran banyak orang kaya yang selalu terpilih menjadi anggota DPR RI, setiap pemilu. Lantaran mereka punya kekuatan finansial. Tentu ada orang-orang kaya yang merem saja dia (memang). Nggak perlu ke dapilnya, dia cuma kirim truk logistik, dia kirim uang, dia kirim segala macam," kata Fahri dalam keterangannya seperti dikutip dalam program Your Money Your Vote dengantema 'Uang Haram di Pusaran Pemilu 2024', Sabtu (27/5/2023).
"Dan orang ini di DPR RI nggak pernah berbicara, nggak pernah menyatakan pendapat, tapi setiap tanggal 20 Oktober per lima tahunan dia dilantik. Kenapa? Karena uangnya banyak betul orang ini,"tambahnya.
Begitu juga halnya, sambung Fahri dengan Nyapres yang membutuhkan ongkos dengan jumlah gila-gilaan lagi, karena sudah mencapai triliunan. Dia memperkirakan kalau di Indonesia, orang tidak punya uang Rp5 Triliun, tak bisa nyapres.
Sebagai contoh, Fahri mengungkapkan ongkos yang diperlukan dalam Pilgub mencapai puluhan hingga ratusan miliar, tergantung besar kecil provinsi. Makanya, tak heran, untuk pilpres, minimal seorang capres butuh uang minimal sebesar Rp5 Triliun.
"Dari mana uang sebanyak itu?kalau capres nggak uang pribadi, uang itu dikumpulkan dari berbagai donatur. Meski dibelakang nanti akan ada hubungan dengan power dan policy yang akan dibuat oleh negara dan pemerintah," ungkap wakil ketua umum DPN Partai Gelora Indonesia tersebut.
Dengan model demokrasi begini, Fahri menyebut, pertarungan dalam memilih pemimpin itu bukan lagi soal adu gagasan, tapi adu logistik. Karena itu, lanjut dia, harus dipikirkan secara serius bagaimana caranya membiayai yang mahal di dalam demokrasi ini, supaya biaya mahal itu justru tidak menjadi sumber korupsi.
"Regulasinya yang masih tanggung harus disempurnakan, juga regulasi-regulasi lain yang berkaitan dengan pembiayaannya sendiri. Sebetulnya ada tiga cara pembiayaan, yakni 100 persen dibiayai negara, dibiayai oleh fully by market atau sepenuhnya dibiayai pasar dan pembiayaan dengan sistem hibryd,"pungkasnya.