KETIKNEWS.ID,- Nenek moyang kita yang dijuluki sebagai Penunggang Gelombang, menjadikan hutan adalah rumahnya dan laut adalah halaman tempat mereka bermain dan bersenang. Seperti sebuah tenda yang sengaja dibentangkan dengan batas cakrawala, langit berhias matahari, bulan, bintang dengan sesekali awan tampak beriring adalah atapnya.
Layaknya sebuah kesengajaan Adikodrati, surga tropis bernama Nusantara itu dihias ribuan pulau dengan nyiur melambai pada setiap pantainya. Dalam bentang katulistiwa yang memberi akibat matahari bersinar selama 365 hari dalam satu tahun ditimpali bingkai cincin api, kesuburan eksotis tak lagi dapat disandingkan dengan daerah lain di manapun.
Bersama dengan para penghuninya, lengkap sudah julukan surga yang tertinggal mendapatkan pijakannya. Disitulah asal Nenek moyang kita berasal dan belajar menjadi seorang Penunggang Gelombang yang ditakuti oleh Dunia dikalla itu.
Laut sebagai halaman menjadi masuk akal dengan hadirnya kayu dalam jumlah tak terbatas di hutan tempat mereka lahir, tumbuh dan pulang. Mereka diberi tahu bagaimana caranya mengapung bahkan hingga batas cakrawala.
Baca Juga: ZAMRUD DI KHATULISTIWA INDONESIA
Ketika mereka berhasrat ingin tahu kemana arah ingin dituju, langit memberi jawab. Bulan, bintang dan benda-benda langit memberinya tanda.

Langit menghadiahkan kelompok bintang Pari untuk menentukan titik selatan dan kelompok biduk bintang besar untuk titik di sebelah utara. Barat dan timur bukan lagi masalah.
Pun kala alam sedang tak ramah, sebuah bintang akan berjaga sebagai fenomena bernama scorpio. Segera dia akan muncul sebagai kabar "Sudah aman". Dan Nenek Moyang kita akan kembali melakukan pelayaran karena badai sudah reda. Para penunggang gelombang itu sudah paham bahasa Alam, bintang dengan nama Romang Wandi sebagai nama lain dari Scorpio, bermakna pemberitahuan bahwa badai telah berlalu.
Ketika suatu saat Nenek Moyang kita ingin pergi lebih jauh lagi namun dengan arah dan jadwal yang pasti, awan yang berarak-arak itu akan memberitahu kapan hal itu dapat dilakukan.
"Bentangkan layarmu!!", bisik lembut awan di bulan Desember. Dan itu tanda bagi Penunggang gelombang dapat berlayar menuju ke arah Timur mencari tempat bernama Tiongkok. Hal itu akan terus berlaku hingga bulan Maret.

Dan pada Mei hingga Juli, kembali angin berbisik agar layar segera dibentangkan manakala mereka ingin pulang setelah lama bepergian di Timur.
Demikian pula sebaliknya bila Nenek moyang kita ingin pergi ke India atau tempat yang lebih jauh lagi ke arah Barat, di Mesir, di Laut Tengah misalnya. Bulan Mei hingga Juli telah mereka catat sebagai waktu paling tepat. Semesta tak pernah ingkar.
Membawa barang untuk ditukar dengan barang lain yang tak dimilikinya, para penunggang gelombang memperkenalkan rempah-rempah sebagai anugerah alam atas panenan dari hutan tempat mereka tinggal. Rempah sebagai obat, pengawet, hingga kebutuhan akan cita rasa mereka perkenalkan, dan dunia pun bersorak gembira.