KETIKNEWS.ID,-- Kiamat..!! Mungkin itulah satu-satunya kata paling sepadan untuk menggambarkan skala luar biasa mengerikannya kondisi Pompeii pada 24 Agustus tahun 79 M. Itu sekitar 2000 tahun yang lalu.
Kota pelabuhan besar dan modern di Italia pada zaman Romawi kuno itu tiba-tiba "dipaksa hilang" dalam hitungan detik. Dalam seketika, kota itu tertimbun material panas debu gunung Vesuvius yang meletus dengan skala luar biasa.
Pada tahun 1748 kota ini digali. Seperti membebaskan jiwa-jiwa terperangkap, bangunan-bangunan berikut segala isinya yang terbebaskan itu segera bercerita.
Cerita pertama adalah tentang duka. Ada sekitar 25 ribu penduduk kota tersebut meninggal dunia secara massal. Mereka terjebak dan tak punya jalan untuk lari meski hanya untuk selamat.

Cerita yang lain, seperti dibekukan, seperti barang yang sengaja disimpan agar tetap utuh tanpa sedikitpun cacat, kota itu lalu bercerita tentang siapa dirinya tanpa bumbu tambahan. Tak sedikitpun terlihat makna menua pada dirinya. Itu seolah hukum waktu yang tak berlaku pada kota itu.
Baca Juga: Trowulan Dahulu, Sekarang Morowali
Debu panas awan vulkanik gunung Vesuvius yang konon menyelimuti kota itu telah mengusir semua kelembaban udara dan mencegah terjadinya pembusukan.
Seperti terbangun dari tidur, dia lantas bercerita. Menjadi luar biasa, apa yang dia ceritakan dan seolah kejadian baru kemarin, adalah kabar dari 1.600 tahun yang lalu.
Dan umat manusia menjadi tahu dalam arti sebenarnya seperti apa kota kuno pada zaman Romawi. Orang menjadi tahu bagaimana sebuah peradaban kuno tanpa hadirnya unsur distorsi.
Seperti melakukan perjalanan waktu, kita dibawa mundur selama 1.600 tahun dan kita terhenyak. Kota berikut masyarakat yang tinggal di dalamnya itu terlalu cantik untuk disanding dengan makna "kuno" seperti banyak bayangan orang sebelumnya.
Pun pada sebuah desa di Temanggung Jawa Tengah. Sama seperti Pompeii, desa bernama Liyangan terkubur karena sebab letusan besar sebuah gunung berapi. Bukan Vesuvius, gunung itu bernama Sindoro.

Cerita miring tentang keterbelakangan masyarakat Indonesia pada periode tertentu yang oleh beberapa pihak, yang kadang cenderung dikonotasikan masih menyembah pohon dan batu sebagai makna lain dari kata primitif, ternyata jauh dari kondisi itu.
Tahun 2008, secara tak sengaja para penambang batu dan pasir menemukan sekumpulan batu-batu andesit yang tak terlihat alami. Batu-batu itu justru tampak seperti bagian struktur sebuah bangunan atau artefak kuno yang tak diketahui manfaatnya.