"Buat apa membangun kapal kalau kita bisa beli dengan pasir dan batuan kita dan kita masih tetap kaya?"
"Sudah gitu, mereka yang beli, mereka pula yang sibuk gali, kurang enak apa?"
"Untuk apa "capek-capek" kerja kalau tanah yang kita injak saja sudah kasih kita makan? Ini anugerah yang harus dinikmati..!"
Paradigma seperti itu suka tidak suka memang terjadi dan tak terlalu salah bila kita lekatkan pada mentalitas kita saat ini.
Dan kita sebagai cucu bangsa besar itu masih senang dengan cerita tentang betapa besarnya kakek nenek kita dahulu sambil berkhayal, "seandainya..." namun malas bekerja.
UU No 4 tahun 2009 adalah cara pemerintah membangunkan kita dari mimpi dan malas kita sebagai bangsa. Rakyat diminta sedikit kreatif, gak perlu banyak. Jangan jual bongkahan tanah, tapi isinya..!
"Para cukong dan mafia tambang marah dong?"
Itu perintah Undang Undang yang harus dijalankan oleh Jokowi. Jokowi sebagai Presiden terpilih tak memiliki kewenangan lari dari UU. Presiden harus menjalankan apa yang menjadi perintah negara dan rakyatnya.
Bahwa kemudian dia dimusuhi oleh orang banyak, dengan cukong dari luar yang modalin para pemilik mulut nyinyir penuh fitnah, itu resiko seorang pimpinan.
Banyak korban berteriak atas berlakunya UU ini. Mereka adalah para mafia tambang, para kapitalis asing pemain kebijakan.
Mereka dulu sangat leluasa berada dan ikut dalam lahirnya sebuah kebijakan.
Kebijakan pertambangan adalah tentang bagaimana kekayaan alam kita dijual tanpa nilai tambah plus kamuflase. Mereka membeli emas dengan harga tembaga.
Mereka membeli bongkahan tanah dengan banyak mineral berharga lain didalamnya dengan satu harga yakni tembaga.
Freeport diambil alih, smelter dibangun. Emas terpisah dengan tembaga. Pendapatan negara langsung meningkat. Mineral berharga lainnya, sisa dari proses smelter itu tetap berada di Indonesia.
"Tapi kenapa harus China di Morowali?"