KETIKNEWS.ID,-- Tak jauh dari petilasan Ario Penangsang, di desa Jipang, Cepu, Kabupten Blora, seluruh keturunan kakek dari kakeknya Hardjo adalah penganut kejawen. Mereka hidup dengan tenang dan damai.
Dalam mengekpresikan budaya dan agamanya, sebagai orang Jawa, kakek Hardjo sangat menghormati pola hubungan yang seimbang.
Hal itu selalu dilakukan pada sesama individu, alam dan Tuhan dimana adalah sebagai pusat segala kehidupan dunia.
Keseimbangan adalah tentang melihat kedalam, (introspeksi) bukan menunjuk siapa yang bersalah. Bukan pula tentang bonus surga dan denda neraka, ini adalah tentang membuat dirinya semakin hari semakin baik dalam seluruh perjalanan hidupnya hingga keseimbangan terwujud.
Penghormatan terhadap Tuhan dilakukan dengan perlambang yang memberikan makna pada munculnya kehidupan manusia di dunia, yaitu orang tua.
Maka orang tua harus dihormati melalui pola Ngawula, Ngabekti dan Ngluhurake tanpa batas waktu.
Baca Juga: Nama ku Sekar..
Menghormati, sesama, lingkungan dan terutama hormat kepada orang tua adalah cara paling mudah membuat Tuhan berkenan.

Itulah sekelumit pemahaman agama dan kehidupan kakek Hardjo sebagai orang jawa dengan seluruh tanggapan atas panggilannya sebagai insan manusia yang tak lagi kita nikmati hari ini.
Ayah Hardjo, Hardjo dan adik-adiknya kini beragama Kristen. Ini bukan tentang ayah Hardjo yang murtad dari agama dan cara hidup kakeknya, ini adalah tentang campur tangan negara dalam kehidupan privat warga negaranya.
Baca Juga: Dari Laut, Kita Bertani
Tahun 1965, pemerintahan Orde Baru lahir. Negara mengharuskan adanya pencantuman agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri tahun 1974, kolom agama di KTP harus diisi dengan memilih salah satu dari lima agama yang telah ditentukan pemerintah.