Nano Suratno, Maestro Sunda yang Melegenda

- Kamis, 22 April 2021 | 13:28 WIB
Ilustrasi Nano Suratno.* (Source: instagram.com/napakjagatpasundan)
Ilustrasi Nano Suratno.* (Source: instagram.com/napakjagatpasundan)

18NEWS.ID – Nano Suratno lahir di Pasar Kemis, Tarogong, Garut, Jawa Barat, pada 4 April 1944. Sejak umur lima tahun sudah dibawa mengadu nasib ke Bandung. Kedua orang tuanya, Iyan S dan Nyi Nonoh termasuk keluarga pecinta seni, walaupun sehari-harinya sebagai wiraswastawan.

Di lingkungan keluarga, sejak kecil Nano dianggap memiliki kemampuan menyanyi yang diwarisi dari kakek dan buyutnya yang juga dalang wayang. Ketika masih di bangku Sekolah Dasar ia sering diminta memperlihatkan kemahirannya dalam pertemuan-pertemuan keluarga.

Kelebihan ini yang mendorong kakaknya menganjurkan agar sang adik memasuki konservatori. Karena minatnya yang besar kepada musik karawitan, setelah lulus SMP, ia melanjutkan ke Konservatori Karawitan (Kokar) di Bandung (1961).

-

Buku biografi Nano Suratno "Sang Komponis Nano S. 60 Tahun" Karya Hawe Setiawan. Source: instagram.com/uukaset

Setelah tamat, ia mengajar di SMPN 1 Bandung (1965-1970) kemudian pindah ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) (1970-1995) dimana dia pernah menjabat Ketua Jurusan Karawitan dan Wakil Kepala SMKI. Beberapa tahun kemudian melanjutkan kuliah ke Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Jurusan Karawitan Sunda, sampai selesai.

Terakhir Nano diangkat menjadi Kepala Taman Budaya Provinsi Jawa Barat sejak 1995 sampai pensiun (2000). Ia menghabiskan hidupnya di sebuah rumah di Kota Bandung, tepatnya Gang H Ahmad, Jalan Muhammad Toha.

Ia merupakan salah satu maestro musik sunda yang melegenda. Banyak karya-karya yang ia hasilkan terutama di musik karawitan dan lagu-lagu sunda. Banyak juga penyanyi-penyanyi sunda yang populer bekat lagu ciptaannya.

Karya-karya Sepanjang Karir Nano

Nano mulai mencipta lagu sejak tahun 1963 sampai akhir hayatnya dengan kumpulan hampir duaratus album. Tahun 1964, ia bergabung dengan kelompok Ganda Mekar pimpinan Mang Koko, namun beberapa tahun kemudian mendirikan kelompok sendiri yang diberi nama Gentra Madya (1972).

Banyak menciptakan lagu karawitan Sunda, di awal masih memperlihatkan pengaruh gurunya, Mang Koko, tetapi kemudian mulai memperlihatkan cirinya sendiri. Ia juga menyusun buku kawih untuk bahan pelajaran di sekolah menengah dengan judul Haleuang Tandang (1976).

Jika Mang Koko, gurunya, mempunyai komposisi Sunda dan Belanda juga mengkritik berbagai ketidakberesan dalam masyarakat, Nano juga, tetapi di samping itu seakan-akan mentertawakan diri sendiri, yang sering terjebak dalam situasi yang lucu.

Cara ini dibawakannya dalam pergelaran yang disebut prakpilingkung (keprak, kacapi, suling, angklung). Hasilnya, pada Festival Komponis Muda Indonesia I yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (1979), komposisinya, Sang Kuriang, mendapat perhatian sebagai komposisi yang sarat dengan kekuatan akar etnis karawitan Sunda yang penuh inovasi pengembangan.

Nano pun sukses dalam pagelaran karawitan Gending Sangkuriang di Festival Komponis Muda yang diselenggarakan di Taman ismail marzuki tahun 1979 diapresiasi dengan pujian positif. Ia juga dikenal sebagai penulis sajak dan cerita pendek berbahasa Sunda. Karyanya pernah di muat dalam majalah mangle, hanjuang, dan lainnya.

Halaman:

Editor: Riedha Aghniya Adriyana

Terkini

Mengenang 100 Hari Astari Rasjid

Selasa, 28 Maret 2023 | 12:03 WIB
X